Ada sebuah ungkapan terkenal tentang sebuah buku, yaitu Habent sua fata libelli. Artinya: sebuah buku punya nasibnya sendiri-sendiri. Setiap buku punya cerita masing-masing kenapa ia mesti hadir di dunia ini dan akhirnya bisa dibaca orang yang punya kesempatan melakukannya. Memang mustahil bila semua buku yang ada di dunia ini sempat dibaca semua orang, meski itu buku paling terkenal dan paling laris sekalipun. Tapi sudah banyak buku berisi cerita tentang sebuah buku tertentu maupun berbagai buku. Bahkan kini juga mulai biasa muncul buku beranotasi tentang suatu buku yang dianggap menarik untuk 'ditemani.' Namun kesan yang umum muncul ialah 'buku tentang buku lain' biasanya dianggap lebih inferior ketimbang buku yang dibahas. Simpelnya, misal ada buku tentang Al-Quran, buku tersebut biasanya dinilai lebih rendah dibandingkan Al-Qurannya. Jadi lebih baik orang juga langsung bersentuhan dengan subjek bahasannya. Jarang ada buku tentang buku yang benar-benar kuat dan mandiri, atau malah sama menarik dengan buku yang dibahas.
The Professor and The Madman dengan sangat menarik dan rinci menceritakan tentang pembuatan Oxford English Dictionary, sebuah kamus legendaris luar biasa tebal yang biasa disebut dengan OED. Lebih dari itu, buku ini menemukan banyak kisah seru di balik para editor dan kontributor (relawan), institusi literer, yang puluhan tahun bahu-membahu hendak menciptakan kamus paling hebat sedunia. Inti kisah paling menarik itu ialah antara James Murray, editor kepala proyek OED tersebut, dengan Dr. William Chester Minor, kontributor yang boleh dibilang paling penting dalam penyusunan OED, sebab ternyata sejak pertama jadi relawan OED dia adalah pasien Rumah Sakit Jiwa Kriminal Broadmoor. Dia memang menghuni RS itu setelah melakukan pembunuhan atas George Merret, seorang penduduk Lambeth Marsh, kawasan kumuh pinggiran London. Minor mulai membantu mencarikan kutipan-kutipan untuk OED sekitar 1880, dan terus bekerja secara sistematik dalam sel sekaligus perpustakaannya, biarpun dia didera skizofrenia yang di ujung hidupnya begitu parah.
Bagaimana ceritanya dua orang yang bak bumi dan langit ini bisa bekerja sama, sampai akhirnya bertemu? Inilah yang diceritakan Simon Winchester dengan sangat menarik. Winchester bertindak sebagai detektif yang berusaha melakukan reka ulang atas semua peristiwa penting, baik terhadap pembunuhan, upaya awal pembuatan kamus besar, biografi Murray dan Minor---dengan hasil menakjubkan. Lebih menarik lagi karena kisah itu terjadi pada zaman Victoria, yang tentu saja harus direka ulang dengan ketelitian luar biasa, hati-hati, meskipun tetap imajinatif dan merangsang rasa penasaran.
Winchester mesti bergumul dengan tumpukan arsip bulukan, penelusuran literatur, membaca rujukan kuno, bahkan berhadap-hadapan dengan berbagai institusi congkak karena menganggap arsip yang dibutuhkan Winchester itu masuk kategori rahasia dan tertutup bagi siapapun. Untunglah Tuhan memberkatinya, hingga dia mengalami sejumlah kejadian mengejutkan, misal mendadak mendapat kiriman arsip yang persis dia butuhkan, atau mendapat bantuan orang-orang yang menghargai niat baiknya. Berbekal semua bahan itu dia mengira-ngira dengan jeli seperti apa kejadian dramatik itu berlangsung, dan akhirnya tersusunlah buku yang mirip sebagai novel sejarah.
Buku Winchester ini masuk dalam kategori nonfiksi, karena dia menulis berdasar fakta, bertumpuk-tumpuk data dan analisis, sementara hukum nonfiksi ialah dilarang bohong. Dia menulis selentur novel berkualitas tinggi, menghadirkan rangkaian kisah begitu lancar, tanpa sandungan sama sekali. Edisi Indonesia buku ini citranya agak dibelokkan sebagai novel, mungkin dengan harapan agar calon pembaca tertarik pada cerita pembunuhan dan kegilaan, dibandingkan pembuatan sebuah kamus. "Dongeng" merupakan salah satu unsur fiksi. Tindakan Serambi ini mirip yang dilakukan GPU tatkala menerbitkan Angsa-Angsa Liar karya Jung Chang. Angsa-Angsa Liar merupakan memoar luar biasa sebuah generasi keluarga yang mengalami berbagai peralihan zaman di Cina, ketika terbit di Indonesia masuk dalam kategori "fiksi dewasa."
Persoalannya dalam konteks Indonesia ialah: siapa mau peduli tentang OED? Ini tantangan amat berat bagi sebuah buku yang memilih subjek tentang hal yang terasa asing di masyarakat Indonesia. Mungkin hanya sebagian kecil orang Indonesia yang bisa dengan baik membayangkan OED dalam kepalanya. Mereka boleh jadi mahasiswa sastra Inggris, penggila buku, atau malah lembaga dengan koleksi pustaka mengagumkan. Maka klaim bahwa OED jadi acuan para hakim, pembuat undang-undang, cendekiawan, filsuf, dan pengarang itu mengacu pada peradaban Barat, terutama Inggris dan AS. Dengan iming-iming apa pun, rasanya sulit memancing rasa penasaran orang Indonesia umum terhadap OED. Mungkin buku Winchester ini baru menarik perhatian terutama sekali bagi para penggila buku dan jurnalis. Dunia tulis-menulis biasanya mudah dipancing dengan kisah menakjubkan tentang buku dan literer. Di dunia perbukuan, OED merupakan salah satu kisah agung yang bakal membuat pikiran siapa pun terkagum-kagum. Mereka yang tertarik dengan bahasa, kepenulisan, penerbitan, pastilah ingin tahu tentang hal itu.
OED merupakan proyek ambisius sebuah bahasa negara yang karena saking besar, di luar dugaan ternyata banyak juga melahirkan banyak penulis tersohor. J.R.R. Tolkien, penulis The Lord of the Rings, aslinya seorang filologis dari Universitas Oxford dan pernah jadi pegawai OED bagian riset etimologi (ilmu bahasa yang mencari asal-usul kata.) Julian Barnes, novelis kontemporer Inggris, juga pernah jadi pegawai OED, meski dia mengaku benci kerja di sana.
Selain mampu menggali kedalaman batin Murray maupun Minor, Winchester juga membongkar mitos tentang kedua tokoh tersebut, selain tentu saja memposisikan betapa penting arti OED bagi bangsa Inggris. Sebelum OED lahir pun bangsa Inggris telah memiliki tradisi dan warisan sastra yang kaya. Munculnya kamus itu menguatkan bahasa Inggris di bidang ilmiah dan sosial-politik.
No comments
Post a Comment