Mungkin, suatu kali, akan ada sebuah buku tentang Indonesia—atau, lebih tepat, tentang sejarah mengindonesia—yang dibuka dengan kalimat begini: ”Ada hantu yang memambangi Indonesia. Dan hantu itu adalah kekerasan.”
Sebab sejarah Indonesia, yakni proses yang tidak kunjung selesai untuk ”menjadi Indonesia”, dipenuhi narasi kekerasan yang menebarkan pesona serta aroma memikat, tetapi sekaligus menakutkan. Seperti misteri: Anda tidak pernah dapat menebak atau membayangkan, tetapi tiba-tiba menyergap dan membuat lidah kelu. Karena itu, untuk mengendus jejaknya dibutuhkan jurnalis investigatif tingkat atas yang, sekaligus, seorang sastrawan dengan kehalusan bahasa ala realisme magis Gabriel Marquez.
Dan Richard Lloyd Parry memiliki keduanya. Ia bukan seorang ”indonesianis” yang dengan gampang membuat klasifikasi konseptual dan mereduksi kekayaan fenomena yang serba karut-marut ke dalam perangkat-perangkat akademis. Malah, seperti diakuinya sendiri, Indonesia adalah teritori antah berantah yang tidak pernah (dan tidak kunjung) dipahami, selain jejeran nama pulau di atas peta.
Akan tetapi, inilah keuntungan seorang ”pemula”. Bermodalkan rasa ingin tahu (walau mulanya terpaksa sebagai koresponden yang ditugaskan atasannya), dengan kejelian insting jurnalistik piawai (ia pernah bertugas di dua puluh empat negara) dan kecakapan mengolah bahasa, Lloyd Parry berhasil mengendus wilayah misterius, hantu-hantu yang selalu menguntit dan memambangi proses mengindonesia. Buku In Time of Madness (dialihbahasakan dengan bagus oleh Yuliani Liputo) tidak sekadar menyajikan laporan jurnalistik tentang kurun tiga tahun (1996-1999) yang paling krusial dalam sejarah Indonesia kontemporer, tetapi sekaligus permenungan tentang kekerasan dan rasa takut yang bagai racun menyebar dan melumpuhkannya.
Download
Sebab sejarah Indonesia, yakni proses yang tidak kunjung selesai untuk ”menjadi Indonesia”, dipenuhi narasi kekerasan yang menebarkan pesona serta aroma memikat, tetapi sekaligus menakutkan. Seperti misteri: Anda tidak pernah dapat menebak atau membayangkan, tetapi tiba-tiba menyergap dan membuat lidah kelu. Karena itu, untuk mengendus jejaknya dibutuhkan jurnalis investigatif tingkat atas yang, sekaligus, seorang sastrawan dengan kehalusan bahasa ala realisme magis Gabriel Marquez.
Dan Richard Lloyd Parry memiliki keduanya. Ia bukan seorang ”indonesianis” yang dengan gampang membuat klasifikasi konseptual dan mereduksi kekayaan fenomena yang serba karut-marut ke dalam perangkat-perangkat akademis. Malah, seperti diakuinya sendiri, Indonesia adalah teritori antah berantah yang tidak pernah (dan tidak kunjung) dipahami, selain jejeran nama pulau di atas peta.
Akan tetapi, inilah keuntungan seorang ”pemula”. Bermodalkan rasa ingin tahu (walau mulanya terpaksa sebagai koresponden yang ditugaskan atasannya), dengan kejelian insting jurnalistik piawai (ia pernah bertugas di dua puluh empat negara) dan kecakapan mengolah bahasa, Lloyd Parry berhasil mengendus wilayah misterius, hantu-hantu yang selalu menguntit dan memambangi proses mengindonesia. Buku In Time of Madness (dialihbahasakan dengan bagus oleh Yuliani Liputo) tidak sekadar menyajikan laporan jurnalistik tentang kurun tiga tahun (1996-1999) yang paling krusial dalam sejarah Indonesia kontemporer, tetapi sekaligus permenungan tentang kekerasan dan rasa takut yang bagai racun menyebar dan melumpuhkannya.
Download
No comments
Post a Comment